Glukosa Darah
Muhammad Irvan
| 10-05-2025
· News team
Pernahkah Anda berpikir betapa pentingnya regulasi glukosa darah dalam tubuh kita? Lebih dari sekadar menghindari hipoglikemia atau hiperglikemia, kontrol glikemik yang tepat sangat penting untuk menjaga integritas saraf, fungsi pembuluh darah, dan respons kekebalan tubuh.
Semua ini berkat dua sinyal endokrin utama yang berperan penting: insulin dan glukagon. Kedua hormon ini disekresikan oleh sel-sel dalam pulau Langerhans yang ada pada pankreas. Aksi keduanya yang berlawanan namun terkoordinasi dengan baik menunjukkan sebuah sistem yang sangat teratur, dipengaruhi oleh nutrisi, ritme sirkadian, rangsangan saraf, dan stres metabolik.
Arsitektur Pankreas dan Dinamika Sekresi Hormon
Pankreas manusia mengandung sekitar 1 juta pulau, yang masing-masing terdiri dari berbagai jenis sel. Sel beta (β), yang membentuk sekitar 60% dari massa pulau, bertugas mensekresikan insulin sebagai respons terhadap kadar glukosa darah yang tinggi. Sel alfa (α), yang menyumbang sekitar 25%, mengeluarkan glukagon ketika kadar glukosa darah rendah.
Penemuan terbaru dari Endocrine Cell Reports pada tahun 2024 mengungkapkan fenomena zonasi pada pulau Langerhans, di mana hubungan spasial antara sel alfa dan beta berkontribusi pada proses sinyal parakrin secara real-time. Pengaturan mikroskopik ini memungkinkan tubuh untuk merespons perubahan kadar glukosa dengan sangat cepat.
Insulin: Mekanisme Aksi dalam Pembuangan Glukosa
Insulin adalah hormon anabolik yang mendorong penyerapan glukosa ke dalam sel melalui pemindahan transporter GLUT4 ke permukaan sel pada jaringan otot dan lemak. Setelah masuk ke dalam sel, glukosa dapat digunakan dalam proses glikolisis atau disimpan sebagai glikogen dan trigliserida. Insulin juga menekan produksi glukosa oleh hati dengan menghambat enzim-enzim kunci dalam proses glukoneogenesis, seperti PEPCK dan G6Pase melalui jalur yang dimediasi oleh Akt/PKB.
Penelitian terbaru oleh tim Dr. Marta Novak dari Universitas Toronto (2024) menunjukkan bahwa sinyal insulin dapat bervariasi pada kondisi resistansi insulin. Pada kondisi ini, jaringan lemak menjadi resistansi terhadap insulin, sementara lipogenesis tetap terjadi di hati, yang berkontribusi pada terjadinya steatosis hati atau penumpukan lemak di hati.
Glukagon: Ketepatan Katalisator Selama Hipoglikemia
Glukagon berperan penting dalam memastikan kelangsungan hidup tubuh saat berpuasa atau saat kekurangan energi. Hormon ini merangsang glikogenolisis di hati dan mengaktifkan enzim-enzim glukoneogenik melalui jalur cAMP-PKA-CREB. Hati menjadi target utama, meskipun temuan terbaru dalam Nature Metabolism (2023) menunjukkan bahwa batang otak dan ginjal juga merespons glukagon, terutama pada kondisi hipoglikemia yang berlangsung lama.
Selain itu, reseptor glukagon (GCGR) kini dipahami lebih luas, tidak hanya berperan dalam mobilisasi glukosa. Penelitian pada tikus yang direkayasa secara genetik mengungkapkan peran reseptor ini dalam mengatur katabolisme asam amino dan ureagenesis, yang menjadi relevan dalam kondisi medis seperti glukagonoma dan sindrom hipoglikemia pasca-bariatrik.
Interaksi Hormon dan Kontrol Temporal
Insulin dan glukagon, yang dulunya dianggap sebagai antagonis sederhana, kini diketahui berpartisipasi dalam umpan balik yang lebih kompleks. Misalnya, insulin menghambat pelepasan glukagon, tidak hanya dengan menurunkan kadar glukosa darah, tetapi juga melalui sinyal intra-pulau antara insulin dan glukagon. Selain itu, somatostatin yang disekresikan oleh sel δ bertindak sebagai penghambat terhadap keduanya, untuk menyempurnakan waktu sekresi hormon-hormon ini.
Penelitian tentang kronobiologi juga menunjukkan bahwa kepekaan sel beta terhadap glukosa dan respons sel alfa terhadap asam amino bergantung pada ritme sirkadian tubuh. Pada malam hari, misalnya, kadar glukagon meningkat untuk mendukung glukoneogenesis guna menjaga kadar glukosa otak selama tidur, seperti yang terungkap dalam Diabetes Care (2024).
Patofisiologi Klinis: Ketika Keseimbangan Terganggu
Pada diabetes tipe 1 (T1D), kehancuran sel beta akibat autoimun menghilangkan insulin endogen, namun sel alfa tetap utuh. Kehilangan efek penghambatan insulin terhadap sel alfa menyebabkan hiperglukagonemia, yang memperburuk produksi glukosa dan mobilisasi asam lemak bebas. Kondisi ini dapat memicu asidosis ketoasidosis diabetes.
Sementara itu, pada diabetes tipe 2 (T2D), sumbu insulin-glukagon terganggu. Meskipun kadar glukosa darah tinggi, glukagon justru disekresikan secara tidak terkendali. Fenomena ini, yang dulu membingungkan, kini dijelaskan dengan adanya gangguan pada proses sensing glukosa di sel alfa dan komunikasi pulau yang rusak. Penelitian dari Universitas Oxford (2023) mengidentifikasi mutasi saluran KATP pada sel alfa sebagai salah satu penyebab disfungsi ini.
Inovasi Farmakologis: Terapi Dual Axis
Perawatan diabetes modern kini semakin berfokus pada kedua sisi dari sumbu hormon ini. Selain suntikan insulin, terapi baru bertujuan untuk memodulasi sekresi glukagon:
- Agonis reseptor GLP-1 (seperti semaglutide) dapat mengurangi sekresi glukagon setelah makan.
- Tirzepatide, agonis dual GIP/GLP-1, meningkatkan insulin dan menekan glukagon, yang menghasilkan penurunan HbA1c yang luar biasa.
- Antagonis reseptor glukagon, seperti volagidemab, sedang dalam uji coba untuk pengendalian glikemik pada T2D dan hipoglikemia pasca-bariatrik.
Evolusi Teknologi: Pankreas Bionik
Sistem pankreas buatan, termasuk sistem loop tertutup dual-hormon iLet, kini dapat mengatur pemberian insulin dan glukagon dalam dosis mikro. Dengan meniru pulsa fisiologis tubuh, sistem ini mengurangi fluktuasi glikemik dan meminimalkan hipoglikemia, sebuah terobosan besar, terutama untuk diabetes yang sulit dikendalikan.
Menurut Dr. Edward Damiano, peneliti utama proyek iLet, "Masa depan pengendalian glikemik bukan hanya tentang meniru insulin saja, tetapi juga meniru fisiologi bihormonal yang telah berkembang dalam tubuh kita selama ribuan tahun."
Insulin dan glukagon bukanlah musuh, melainkan ko-regulator dalam simfoni metabolik tubuh. Aksi terkoordinasi mereka menjaga ketersediaan energi, ketahanan sel, dan keseimbangan sistemik. Seiring penelitian semakin mendalam, masa depan terapeutik berfokus pada modulasi kontekstual, integrasi umpan balik real-time, dan terapi penggantian multi-hormon yang disesuaikan dengan ritme metabolik masing-masing pasien.